SELAMAT DATANG DI RUMAH REHABILITASI NARKOTIKA PENDOPO

Kamis, 04 Februari 2016

Sinergitas BNN, TNI dan Polri dalam Mengatasi Permasalahan Narkotika

“...jumlah pengguna narkoba di Indonesia pada Juni 2015 masih 4,2 juta jiwa, berselang lima bulan (sampai dengan November 2015) angka itu meningkat signifikan menjadi 5,9 juta jiwa. Ironisnya, kenaikan 1,7 juta jiwa itu adalah pengguna baru.”
Kutipan tersebut diambil penulis dari Harian Kompas edisi 11 November 2015 yang mengutip pernyataan Komisaris Jenderal Polisi Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia di sela-sela acara pemusnahan barang bukti penyalahgunaan narkotika di Mapolresta Medan, 10 November 2015. Artinya, kita semua tidak bisa lagi memandang remeh permasalahan narkotika yang semakin mengancam generasi penerus negeri ini. Tidak pula membebankan tanggungjawab penanganan masalah narkotika hanya kepada Badan Narkotika Nasional. Sinergitas lintas sektoral mutlak diperlukan. Dalam kaitan itu, penulis akan mencoba mengulas betapa pentingnya sinergitas antara TNI, Polri dan Badan Narkotika Nasional (yang dalam konteks ini adalah Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga) dalam mengatasi permasalahan narkotika.    
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa kejahatan narkotika telah merongrong ke dalam semua sektor di negeri ini, diantaranya mengancam institusi TNI/Polri, hal ini dibuktikan dengan tersangkutnya 11 oknum TNI/Polri yang menjadi tersangka kasus tindak pidana narkotika dalam rentang waktu tahun 2010-2013. Kesebelas oknum TNI/Polri tersebut adalah hasil pengembangan kasus oleh Badan Narkotika Nasional sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 (Jurnal Data P4GN Tahun 2013 Edisi Tahun 2014 halaman 115).  Apa artinya? Persamaan persepsi dari semua sektor untuk menyukseskan program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (P4GN) tidak terbantahkan, menjadi sebuah kebutuhan.
Lantas mengapa TNI-Polri harus bersinergi dengan Badan Narkotika Nasional? Apa dasar hukumnya?
Mengacu pada pasal 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebut secara jelas bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (P4GN) dibentuklah Badan Narkotika Nasional. Kemudian dipertegas dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang memberikan penjelasan mengenai tugas dan kewenangan Badan Narkotika Nasional diantaranya adalah menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional P4GN; memberdayakan masyarakat dalam P4GN (termasuk didalamnya adalah membentuk satgas, relawan maupun kader); serta memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam rangka P4GN. 
Artinya, sinergitas penanganan permasalahan narkotika di Kabupaten Purbalingga penting diperlukan dengan pertimbangan, pertama, kekuatan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh TNI-Polri mendukung yakni Babinsa dan Babinkamtibmas sebagai pemegang otoritas teritorial tentu jauh lebih mengetahui kondisi yang tengah berkembang di masyarakat sehingga langkah-langkah upaya deteksi dini yang merupakan ancaman terhadap pertahanan negara dapat segera ditangani, termasuk permasalahan narkotika. Kedua, secara yuridis, antarpimpinan Badan Narkotika Nasional, Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menjalin kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman. Adapun Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Tentara Nasional Indonesia adalah Nomor : NK / 29 / V / 2015 / BNN  Nomor : Kerma 14 / V/ 2015 tanggal 13 Mei 2015 tentang Bantuan TNI kepada BNN dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta Pelaksanaan Rehabilitasi Penyalahguna dan Pecandu Narkotika dan Prekursor Narkotika. Adapun intisari dari Nota Kesepahaman ini adalah pengoptimalan fungsi pembinaan dan pemberdayaan masyarakat anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; diseminasi informasi dan advokasi tentang pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta pelaksanaan pemeriksaan uji narkotika terhadap personil TNI. Sedangkan Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Nomor : NK / 41 / VII / 2015 / BNN  Nomor : B / 27 / VII / 2015 tanggal 10 Juli 2015 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Intisari dari Nota Kesepahaman ini diantaranya memberdayakan kader anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika serta pelaksanaan pemeriksaan uji narkotika terhadap personil Polri. Artinya, jika aspek sumber daya manusia (SDM) dan yuridis telah terpenuhi, maka gerak aksi nyata dari personil TNI-Polri dan Badan Narkotika Nasional di Kabupaten Purbalingga dapat segera ditunggu aktualisasinya.
Gerak langkah nyata sinergitas tersebut diaktualisasikan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga melalui penyelenggaraan kegiatan seminar pemberdayaan masyarakat untuk instansi pemerintah (TNI dan Polri). Kegiatan seminar dilaksanakan di Operation Room Graha Adiguna Komplek Pendopo Dipokusumo Purbalingga dengan peserta 20 orang Babinkamtibmas dari seluruh Polsek di Kabupaten Purbalingga dan 20 Babinsa dari seluruh Koramil di Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2015. Dalam kegiatan ini, peserta dibekali materi seputar permasalahan narkotika baik dari sisi akademis (yang disampaikan oleh Andi Ali Said, Dosen Jurusan Ilmu Politik Fisip Unsoed), kebijakan P4GN (oleh Kepala BNN Purbalingga, AKBP Edy Santosa, M.Si) maupun dari aspek religi serta metode rehabilitasi pecandu narkoba oleh Al Ustadz Achmad Ichsan Maulana (Pimpinan Panti Rehabilitasi Narkoba “Nurul Ichsan Al Islami”).
Apakah sinergitas dengan TNI-Polri hanya dilakukan lewat seminar? Tentu tidak, sebab tak hanya dibekali melalui seminar, sejumlah 12 Babinkamtibmas dan 13 Babinsa yang telah mengikuti kegiatan seminar yang dilaksanakan pada tanggal 17 November tersebut, diundang kembali oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga untuk dikukuhkan sebagai satgas anti narkoba di lingkungan TNI-Polri pada tanggal 25 November 2015.  Dalam kegiatan pengukuhan satgas ini, para Babinkamtibmas dan Babinsa tak hanya dibekali materi, tetapi juga diajak untuk on the spot (kunjungan langsung) ke Panti Rehabilitasi Narkoba “Nurul Ichsan Al Islami” di Karangsari, Kalimanah dengan tujuan menumbuhkan kepedulian terhadap korban penyalahgunaan narkoba, mengingat perannya sebagai kepanjangantangan pemerintah.
Bahkan, jauh sebelum dikukuhkan sebagai satgas anti narkoba, 129 anggota Polri di Polres Purbalingga telah menjalani pemeriksaan narkotika melalui metode cek urine pada tanggal 24 November 2014 dengan hasil negatif narkotika. Artinya secara kelembagaan Polres Purbalingga telah membuktikan bahwa institusinya bersih dari penyalahgunaan narkotika.
Sejatinya, tak hanya institusi Polri yang siap untuk bersinergi bersama Badan Narkotika Nasional, dalam hal ini, Polri memiliki organisasi underbow yakni Sentra Komunikasi (Senkom) Mitra Polri yang sangat potensial untuk menuntaskan permasalahan narkotika. Adapun secara yuridis, telah terjalin komitmen bersama melalui Nota Kesepahaman antara Badan Narkotika Nasional dengan Sentra Komunikasi Mitra Polri Nomor : NK / 173 / VII / 2014 / BNN  Nomor : KEP-813 / PP.SK-MP / VII / 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang ditandatangani pada tanggal 16 Juli 2014 di Jakarta.
Perlu diketahui bahwa, Sentra Komunikasi (Senkom) Mitra Polri adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat nasional, independen, mandiri dan non profit, bergerak di bidang komunikasi dan informasi kamtibmas, hankamnas serta penanggulangan bencana, untuk mendukung terciptanya stabilitas nasional. Sentra Komunikasi (Senkom) Mitra Polri dibentuk pada tanggal 1 Januari 2004 sebagai wadah kelompok sadar kamtibmas Mabes Polri dengan dasar hukum pembentukan adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diperkuat dengan Surat Telegram Kapolri Nomor : ST/526/V/2007 tanggal 7 Mei 2007 tentang perintah Kapolri kepada Kapolda agar membina Senkom diwilayahnya untuk menjadi mitra Polri. Visi Sentra Komunikasi (Senkom) Mitra Polri adalah menjadi lembaga yang handal dan profesional dalam membantu mewujudkan keamanan dan ketertiban nasional melalui peningkatan kesadaran masyarakat. Adapun lingkup kegiatannya ditekankan pada koordinasi dan pemberi informasi kepada aparat berwajib baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah maupun TNI/Polri, termasuk Badan Narkotika Nasional terhadap adanya gangguan kamtibmas, stabilitas nasional (termasuk ancaman bahaya narkotika) dan bencana alam yang dijumpai dimanapun anggota Senkom berada.
Melihat potensi tersebut, Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga merangkul Sentra Komunikasi (Senkom) Mitra Polri se – Jawa Tengah dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang telah dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2015 di Operation Room Graha Adiguna Komplek Pendopo Dipokusumo Purbalingga. Kegiatan sosialisasi tersebut dihadiri 173 anggota Senkom Mitra Polri dari seluruh kabupaten / kota se-Jawa Tengah.
Artinya, upaya yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga sebagai focal point P4GN dengan mensinergikan derap langkah dengan unsur TNI-Polri seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas, dapat pula dimaknai sebagai sebagai kontribusi bela negara untuk pembangunan postur pertahanan nirmiliter, yakni berfokus pada program Pencegahan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN). Hal ini termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2015 yang menyebutkan bahwa pertahanan negara mutlak diperlukan guna menghadapi ancaman yang dapat merongrong keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti spionase, narkoba, terorisme dan konflik terbuka lainnya. Tujuannya jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dengan mendayagunakan sumber daya nasional dan sarana prasarana nasional.
Tentunya, penulis berharap agar satgas anti narkoba di lingkungan TNI-Polri Kabupaten Purbalingga yang telah terbentuk mampu berkreasi mengacu pada kearifan lokal, menggerakkan potensi yang ada diwilayahnya untuk menuntaskan permasalahan narkotika. Karena, narkotika adalah masalah kita bersama.

Terobosan Luarbiasa BNN Dalam Menyelamatkan Korban Penyalah Guna Narkotika




Brigjen Pol dr Budyo Prasetyo Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Non Pemerintah menjelaskan tentang Kelembagaan Assesment
Asessment penyalahguna narkoba itu ibarat visum et repertum demikian ungkapan Brigjen Pol dr. Budyo Prasetyo Sp RM Direktur Penguatan Rehabilitasi Komponen Swasta di acara pertemuan dengan stake holders rehabilitasi koban narkoba. Acara itu digagas dalam rangka menyamakan persepsi diantara para pihak yang bergerak dalam rehabilitasi korban penyalahguna narkoba pada hari Jum’at 21 Maret 2014 di lantai 7 gedung BNN Cawang Jakarta Timur.
Lebih lanjut dr Budyo menjelaskan bahwa ketika seorang korban tindak pidana kekerasan terjadi, sesuai standar operasional prosedur Polisi selalu meminta visum et repertum kepada dokter. Visum et repertum digunakan oleh penyidik untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang berisikan informasi apa saja penyebab dari tindak pidana kekerasan itu dan sejauh mana status kesehatan korban terganggu.
Selama ini dalam kasus narkoba, ketika Polisi menangkap korban penyalah guna narkoba, mereka langsung membuat BAP tanpa meminta terlebih dahulu visum et repertum dari dokter apakah si tertangkap itu benar benar pengguna narkoba. Dalam kasus narkoba, visum et repertum bisa dinamakan dengan asessmen.
Sistem Asessment merupakan terobosan bermakna Badan Narkotika Nasional (BNN) menggagas tahun 2014 sebagai tahun penyelamatan korban narkoba. Oleh karena itu dalam proses penanganan terduga, tersangka, terdakwa, atau narapidana dalam penyalahgunaan narkotika penyalah guna narkoba ditetapkan Nota Kesepakatan Bersama / Peraturan bersama antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia , Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan BNN.
Tujuan dari diterbitkannya kesepakatan bersama antara instansi penegak hukum terkait itu adalah untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Tujuan lainnya adalah untuk mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal antar instasi penegak hokum terkait dalam rangka penyelesaikan permasalahan narkotika dan pemberantasan peredaran gelap narkotika melalui penanganan tersangka, terdakwa atau narapidana penyala an narkotika dengan program pengobatan, perawatan dan pemulihan.
Terobosan membentuk Tim Asessment Terpadu sesungguhnya upaya dari pemerintah untuk menyelamatkan korban pengguna narkotika agar mereka mendapat pelayanan rehabilitasi dalam artian tidak dipenjara. Tim Assesmen Terpadu terdiri dari Tim Dokter yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan setempat, Tim Penyidik yang ditetapkan oleh Kepala Satuan Kerja (Kasatker) setempat berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Narkotika Nasional.
Tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap atau tertangkap tangan dan terdapat barang bukti dengan jumlah tertentu dan terbukti positif memakai narkotika sesuai hasil tes urine, darah dan rambut setelah dibuatkan BAP hasil laboratorium dan BAP oleh Penyidik Polri dan/atau Penyidik BNN dan telah dilengkapi dengan surat hasil Assesmen Terpadu, selama proses peradilannya berlangsung ditempatkan di lembaga rehabilitasi medis yang dikelola oleh pemerintah.
Kebijakan membentuk Tim Assesmen Terpadu merupakan suatu kemajuan berarti dalam penyelamatan korban penyalah guna narkotika. Bila selama ini penyidik langsung membuat BAP si korban, namun kini BAP itu harus dilengkapi dengan dokumen hasil pemeriksaan Tim Assesmen. Dengan demikian Penyidik seperti halnya mendapatkan visum et repertum maka dari hasil pemeriksaan Tim Assesmen telah mengetahui status jelas dari tertangkap apakah dia korban penyalah guna atau pengedar narkotika.
Peran dari Tim Assesmen Terpadu ini sangat menentukan dalam penyelamatan korban penyalahguna narkotika sebagai amanat dari Undang Undang Nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Perubahan paradigma tentang status seorang penyalahguna yang selama ini dianggap sebagai kriminal seperti yang tercantum dalam UU nomer 23 tahun 1992 berubah menjadi status korban yang harus diselamatkan.
Tim Assesmen terpadu sebagai tim profesional dalam bidangnya dapat menentukan seorang penyalahguna narkotika itu dalam 3 tingkat keparahan. Tingkat keparahan pertama dikategorikan sebagai ringan menunjukkan kondisi seorang pengguna masih coba coba, penggunaan narkotika dianggap sebagai rekreasi dan digunakan sesuai dengan situasi tertentu. Tingkat keparahan sedang di tandai kondisi factual korban yang menggunakan narkotika secara teratur lebih dari 2 kali dalam seminggu dan mereka bisa saja menggunakan 1 atau lebih jenis narkoba. Tingkat keparahan kategori berat ditandai dengan penggunaan narkotika setiap hari, mereka mengunakan narkoba suntik dan telah ditemukan komplikasi medis dan psikis akibat penyalahgunaan narkotika tersebut.
Prosedur yang dilakukan Tim Assesmen terpadu ketika menerima penyalahguna narkotika dari penyidik berupa pemeriksaan fisik, psikis dan laboratorium. Setelah pemeriksaan tersebut dilakukan maka dapat ditetapkan status penyalahguna narkotika itu apakah termasuk dalam kelompok coba/pakai teratur pakai atau termasuk dalam kelompok pecandu suntik dan non suntik. Bagi penyalah guna narkoba kategori coba coba pakai mereka di sarankan kepada penyidik untuk wajib lapor, dilakukan konseling indoividu dan psiko edukasi keluarga. Khusus untuk penyalahguna narkotika pecandu berat mereka diwajibkan mengikuti proses rawat jalan dan rawat inap bagi yang menderita komplikasi medis.
Mudah mudahan dengan dibentuknya Lembaga Assesmen ini angka kematian korban penyalah guna 40 0rang dalam sehari bisa diturunkan. Korban penyalahghuna guna harus direhabilitasi, mereka bisa pulih dan menjadi warga negara yang produktif. Sebaliknya apabila pengguna narkoba yang sebagian besar berasal dari usia produktif bahkan remaja dipenjarakan maka masa depan mereka seolah olah dihancurkan akibat salah dalam menetapkan kebijakan menyelamatkan anak bangsa dari dampak buruk narkotika.

MENGAPA PENYALAHGUNA NARKOBA DI REHABILITASI BUKANNYA DI PENJARA?



Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal Anang Iskandar mengatakan, mulai 15 Agustus 2014, semua pecandu narkoba akan direhabilitasi. "Kalau pengedar tetap kita penjarakan," kata Anang di Jakarta, Rabu, 25 Juni 2014 (www.tempo.co)
Memang Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) sudah mengatakan hal tersebut di tahun2014 lalu, namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang adanya perubahan paradigma tersebut. Masihmenjadi mindset masyarakat bahwa penyalahguna narkoba jika ketahuan atau tertangkap polisi akan dipenjarakan. Oleh karena itu, penyalahguna narkoba sangat takut jika keberadaaanya diketahui orang lain apalagi jika harus melaporkan dirinya sendiri. Masyarakat juga terkesan menutupi jika terdapat, teman, kerabat, atau keluarga yang menjadi penyalahguna narkoba.
Mulai tahun 2015, mari kita buang jauh-jauh segala ketakutan terhadap dingin dan mengerikannya jeruji besi bagi penyalahguna narkoba. Karena ditahun ini, BNN mencanangkan program “REHABILITASI BAGI 100.000 PENYALAHGUNA NARKOBA” di seluruh indonesia. Masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam program ini, jangan ada lagi rasa takut untuk melaporkan dirinya atau orang lain yang menjadi pecandu narkoba ke BNN, Balai Rehabilitasi, atau Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) lainnya. Masyarakakat bisa melaporkan dirinya di seluruh BNNP (Badan Narkotika Nasional Propinsi) yang tersebar di 33 propinsi di indonesia. Program ini adalah angin segar bagi penyalahguna narkoba, demi menyelamatkan generasi bangsa dari barang perusak masa depan ini. Manfaatkan sebaik-baiknya program ini untuk menyelamatkan diri sendiri dan teman, kerabat, atau keluarga yang sedang sakit karena penyalahgunaan narkoba secara GRATIS. Perlu diketahui biaya rehabilitasi bagi pecandu narkoba rawat inap rata-rata 2,1 juta per bulan dikalikan 6 bulan, 1 tahun bahkan ada yang 2 tahun tergantung tingkat kecanduannya.Bayangkan jika anda harus membayar biaya rehabilitasi dengan uang pribadi???
Mungkin setelah penjelasan  diatas, akan muncul pertanyaan-pertanyaan ini di benak para pembaca sekalian.
Mengapa Pemerintah rela mengeluarkan dana yang begitu besar untuk para penyalahguna narkoba?
Mengapa tidak dipenjara saja biar jera dan jelas tidak keluar banyak biaya?

Baiklah mari kita bahas satu persatu, melalui data-data yang dimiliki oleh BNN.
Berdasarkan hasil penelitian BNN, Tahun 2008 jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia sebanyak 3,3 juta jiwa, dan Tahun 2011 meningkat menjadi 4 juta jiwa, Sementara pada tahun 2015 diproyeksikan meningkat menjadi 5,2 juta jiwa. Selama menggunakan paradigma yang lama “penyalahguna narkoba selalu dimasukan ke penjara”, terjadi peningkatan yang signifikan dari penyalahgunaan narkoba. Mulai tahun 2015, Paradigma tersebut dirubah menjadi“penyalahguna narkoba lebih baik di rehabilitasi daripada dipenjara”. Indonesia memiliki harapan dengan paradigma baru tersebut serta didukung dengan program rehabilitasi 100.000 penyalahguna narkoba dari BNN, paling tidak dapat menahan laju prevalensi penyalahgunaan narkoba di negara kita ini.
Selain itu, jika para penyalahguna narkoba ini  dimasukkan ke penjara maka akan berkumpul dengan kurir, pengedar, bandar, atauprodusen narkoba. Setelah keluar dari penjara, bukannya pulih dari kecanduan malah semakin parah dan bisa masuk jaringan karena adanya transformasi ilmu di sel penjara. Yang tadinya hanya sebatas memakai narkoba, bisa jadi saat keluar sudah menjadi bagian dari jaringan peredaran gelap narkoba. Apakah kita mau jika mantan napi penyalahguna narkoba naik kasta menjadi pengedar narkoba setelah keluar dari penjara? Tentunya kita tidak menginginkan hal tersebut terjadi.
Lebih memilukan lagi di dalam jeruji penjara para pengedar narkoba bukannya malah jera, bukan lagi rahasia umum bahwa  mereka mengendalikan dan mengedarkan narkoba dari dalam lapas.  Menurut penelitian BNN, sekitar 75% peredaran narkoba dikendalikan dari dalam lapas, Mengagetkan bukan? Jadi jangan heran, jika hukuman seumur hidup masih belum mempan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi sangat tegas untuk menerapkan hukuman maksimal (hukuman mati) untuk para pengedar narkoba kelas kakap di Indonesia.
Masih berpikir bahwa penjara akan membuat pecandu dan penyalahguna narkoba jera ?
Saya yakin para pembaca sudah dapat menjawabnya sendiri setelah penjelasan diatas.

“Pecandu dan penyalahguna narkoba lebih baik dan memang seharusnya di rehabilitasi!!!”
Berikut ini akan dijelaskan beberapa alasan mengapa pecandu dan penyalah guna narkoba sebaiknya di Rehabilitasi :
  • Jika kita mengatakan bahwa penyalah guna dan pecandu adalah pelanggar hukum, itu benar tapi mereka bukanlah penjahat, mereka  hanyalah korban dari bujuk rayu para pengedar dan bandar. Sifat adiktif yang terkandung didalam narkoba, membuat para penyalah guna dan pecandu ketergantungan untuk mengkonsumsi narkoba.
  • Penggunaan narkoba yang terus-menerus akan berdampak pada kerusakan fisik seseorang, mudah terserang penyakit dan bisa merusak system saraf pusat sehingga membuat mereka menjadi gila atau keterbelakangan mental bahkan menimbulkan kematian. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penyalah guna dan pecandu narkoba merupakan orang sakit yang harus kita tolong dan disembuhkan dari ketergantungannya sebelum efek narkoba mematikan fungsi otaknya.
  • Berbicara tentang narkoba, berarti berbicara tentang supply and demand. Semakin banyak (demand) permintaan berarti narkoba akan terus ada atau bertambah (supply). Merehabilitasi penyalah guna dan pecandu narkoba hingga sembuh adalah suatu langkah untuk menekan permintaan. Jika sudah tidak ada permintaan dari konsumennya, pengedar dan bandar akan gulung tikar dengan sendirinya.
  • Berdasarkan penelitian BNN RI, setiap harinya 40-50 generasi bangsa Indonesia meninggal dunia karena narkoba. 1,2 juta jiwa sudah tidak bisa dilakukan rehabilitasi karena kondisinya yang terlalu parah. Langkah merehabilitasi penyalah guna dan pecandu narkoba adalah salah satu langkah  agar bangsa Indonesia tidak kehilangan generasinya kembali.
Rehabilitasi merupakan keputusan yang arif dan bijak dari pemerintah serta jalan terbaik bagi penyalahguna narkoba agar tidak semakin terjerembab dalam ke jurang pesakitan. Saya yakin, masyarakat akan mendukung program pemerintah dengan tidak memenjarakan para penyalahguna ini melainkan di rehabilitasi agar pulih. Semoga, Program BNN “Rehabilitasi 100.000 Penyalahguna Narkoba” di tahun 2015 ini berjalan lancar dan sesuai dengan rencana agar dapat menahan peningkatan prevalensi penyalahguna narkoba. Hal itu tidak akan bisa terjadi, tanpa dukungan dari masyarakat untuk pro aktif melapor ke BNN, Balai Rehabilitasi atau IPWL.

Peranan Sekolah Dalam Pencegahan Narkoba



Meningkatnya penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dapat dikatakan tanggung-jawab bersama, karena penyelesaiannya melibatkan banyak faktor dan kerjasama dari semua pihak yang bersangkutan, seperti pemerintah, aparat, masyarakat, media massa, keluarga, remaja itu sendiri, dan pihak-pihak lain. Maraknya kasus narkoba belakangan ini, terutama yang mengincar anak-anak di lingkungan sekolah dasar (SD) Tak urung membuatmasyarakat resah, khusunya orang tua.
Penyalahgunaan narkoba terjadi karena korban kurang atau tidak memahami apa narkoba itu sehingga dapat dibohongi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab (bandar & pengedar). Keluarga, orang tua tidak tahu atau kurang memahami hal-hal yang berhubungan dengan narkoba sehingga tidak dapat memberikan informasi atau pendidikan yang jelas kepada anak-anaknya akan bahaya narkoba. Kurangnya penyuluhan dan informasi di masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkoba. Untuk itu penyuluhan dan tindakan edukatif harus direncanakan, diadakan dan dilaksanakan secara efektif dan intensif kepada masyarakat yang disampaikan dengan sarana atau media yang tepat untuk masyarakat.
Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan dampak kerugian terhadap kondisi kesehatan jasmani seseorang begitu juga kondisi psikis pemakainya. Perubahan psikis sering menimbulkan kendala hubungan sosial bagi penyalahguna narkoba dalam keluarga maupun masyarakat umum di sekitarnya. Seorang penyalahguna narkoba tidak akan hidup normal layaknya anggota masyarakat lainnya. Mereka biasanya mempunyai tingkah laku yang aneh dan menciptakan ketergantungan fisik dan psikologis pada tingkatan yang berbeda. Ketergantungan berarti mereka tidak dapat hidup tanpa menggunakan narkoba. Ketergantungan tersebut menyebabkan timbulnya rasa sakit jika ada upaya mengurangi penggunaan narkoba atau bahkan menghentikannya. Sedang ketergantungan secara psikologis dapat menimbulkan tingkah laku yang kompulsif (mendorong) untuk memperoleh barang-barang haram tersebut. Bahkan sering kali penyalahguna akan melakukan tindakan keriminal untuk memperoleh uang yang kemudian digunakan buat membeli narkoba. Keadaan yang lebih parah lainnya yang sering terjadi pada korban saat tubuh seorang kebal akan narkoba. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan narkoba menjadi meningkat supaya mencapai efek yang sama. Akibat yang fatal yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkoba dengan dosis tinggi dan dilakukan secara sering dapat menyebabkan kematian.
Sekolah Pegang Peranan
Dalam masalah penanggulangan narkoba, sekolah memegang peranan penting karena sekolah merupakan tempat berkumpulnya anak-anak muda yang seringdijadikan sasaran. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional diketahui tersangka penyalahguna narkoba yang coba pakai pada tahun 2014, berjumlah 1.624.026, meningkat 12% dari tahun 2011 sebesar 1.159.649, yang dimana penyalah guna coba pakai ini terdiri dari remaja atau golongan pelajar.
Menurut hasil penelitian Fakultas Psikologi Universitas Autonoma Barcelona pada tahun 2007, mereka yang terkena narkoba di sekolah umumnya berawal dari merokok. Bahkan, anak-anak yang potensial menjadi penyalahguna narkoba biasanya berawal dari kebiasaan merokok kemudian meningkat dengan mencoba-coba mengisap/mengkonsumsi ganja, kemudian berlanjut memakai sabu-sabu dan narkoba jenis lainnya
Kemendikbud sebagai lembaga pemerintah yang ditugasi menangani masalah pendidikan telah mengkampanyekan anti narkoba serta membentuk lembaga kebugaran jasmani yang bertugas mengurusi masalah narkoba.Program pendidikan yang efektif dan luas merupakan bagian yang penting dari tindakan penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan narkoba. Pencegahan melalui pendidikan sebagai sebuah proses berkesinambungan dengan tujuan menghindari narkoba. Kurikulum dan program yang dikembang sebagai bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
Dari sisi pendidikan kurikulum materi pengenalan tentang narkoba di pelajaran SD sebenarnya sangat dimungkinkan dimasukan karena kurikulum sekarang yang disebut kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satu Pendidikan) dapat dilakukan secara terintegrasi. Misalnya, ketika seorang guru mengajarkan pelajaran agama dan bahasa Indonesia dengan bacaan-bacaan yang membahas bahaya penyalahgunaan narkoba mata pelajaran tersebut bisa membangun sosialisasi kesadaran anak-anak.
Oleh karena itu system pendidikan sekolah, pendidikan dan motivasi guru merupakan hal penting yang tidak akan diabaikan untuk dapat menjamin siswa secara efektif menolak narkoba dan memilih cara hidup sehat. Dengan demikian perlu disiapkan materi pengajaran masalah cara hidup sehat bebas dari narkoba sejak Sekolah Dasar. Namun yang menjadi kendala di dunia pendidikan sekarang belum seluruh guru mempunyai pengalaman dan pengetahuan dasar tentang narkoba.
Itulah sebabnya disekolah dasar sekarang ini dialokasikan dana khusus untuk mengadakan buku-buku tentang narkoba yang akan bermanfaat bagi penyadaran anak-anak dari ancaman bahaya narkoba. “Serta mencegah anak-anak agar tidak terjerumus kedalam pengaruh buruk narkoba,”. Sebab, mereka yang sekali terkena narkoba, akan sulit untuk berhenti dan korban akan terus tergantung serta terjebak dalam sebuah lingkaran setan.

Pencegahan Berbasis Sekolah
Pencegahan berbasis sekolah (School Based Prevention) lebih mudah dilaksanakan dikarena sekolah lebih berstruktur sehingga dapat diadakan pengawasan meskipun dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu. Dalam melaksanakan pendidikan pencegahan di sekolah dalam kurikulum maupun kegiatan exstrakurikuler yang menyangkut upaya meningkatkan kualitas hidup secara bertahap disisipkan pengetahuan atau pelajaran yang bertujuan untuk mensosialisasikan kebijakan penanggulangan dan bahaya penyalahgunaan narkoba.
Dalam pelaksanaan pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekolah perlu diadakan langkah-langkah, sebagai berikut antara lain menilai besar dan luasnya masalah dan mengembangkan mekanisme pengawasannya. Tetapkan kebijakan yang jelas dan konsisten yang berlaku bagi siswa, guru dan semua personil di lingkungan sekolah yang menyelesaikan penyalahgunaan narkoba di lingkungan sekolah tidak dibenarkan.
Melaksanakan pendidikan pencegahan melalui kurikulum dan ekstra kurikuler, mensosialisasikan dan melaksanakan kebijakan penanggulangan. Kemudian mengikuti/mengadakan pelatihan untuk para guru tentang pencegahan narkoba untuk mengetahui materi-materi yang perlu dikuasai terampil menggunakan metode mengajar sesuai tingkat dan umur serta gejala-gejala penyalahgunaan narkoba. Menyelenggarakan program bantuan/pendukung anak-anak sejak TK sampai dengan siswa, antara lain kelompok belajar, kegiatan-kegiatan alternatif, konseling untuk teman sebaya, ketrampilan, kerja bakti sosial dan lain-lain. Kemudian mengharapkan partisipasi orang tua, dan pendekatan terpadu sekolah dan masyarakat.
Salah satu prioritas pembangunan pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan sebagai jawaban terhadap kerterpurukan sumber daya manusia (SDM) Indonesia di era globalisasi. Peningkatan kualitas SDM ini hanya dapat dipenuhi dengan penyiapan peserta didik dan generasi muda yang aktif, dinamis dan mampu menjawab tantangan global, bukan generasi muda yang malas, rendah diri, apatis, kurang gairah, dan bermasa depan suram. Pada beberapa peserta didik, perilaku-perilaku negatif ini banyak dijumpai sebagai akibat penyalahgunaan narkoba yang saat ini sangat memperihatinkan.
Oleh karena itu sekolah mempunyai peranan penting selain hal mendidik, namun juga peran dalam pencegahan narkoba. Selain guru di sekolahan, orang tua juga mempunyai peranan penting dalam pencegahan narkoba, antara lain:
1. Mengasuh anak dengan baik
2. Mampu memberikan dorongan untuk meningkatkan kepercayaan diri anak
3. Membangun komunikasi yang baik kepada anak
4. Penanaman disiplin sejak Usia dini.
5. Mengawasi lingkungan anak baik itu pergaulan maupun tempat dimana anak sering beraktivitas.

PROYEK PERUBAHAN “OPTIMALISASI DISEMINASI INFORMASI MELALUI KONVERGENSI MEDIA DALAM RANGKA MENINGKATKAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN)”




Oleh : Gun Gun Siswadi
(Direktur Diseminasi Informasi BNN)
Saat ini Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat narkoba. Hal ini disebabkan oleh beberapa indikator, antara lain jumlah penyalahguna narkoba di Indonesia sudah mencapai 4 juta orang (berdasarkan hasil penelitian BNN dan UI tahun 2014), semakin berkembangnya jenis narkoba yang masuk ke Indonesia, semakin beragamnya latar belakang penyalah guna narkoba dan modus peredaran gelap narkoba yang semakin canggih menggunakan berbagai cara.
Berdasarkan hal itu, maka perlu melakukan strategi diseminasi informasi P4GN dalam rangka mengantisapasi keadaan darurat narkoba tersebut sehingga jumlah penyalahguna narkoba dapat ditekan semaksimal mungkin. Dengan demikian maka, Indonesia akan menjadi Negara yang mampu secara mandiri keluar dari keadaan darurat narkoba untuk melakukan pembangunan di berbagai sektor kehidupan bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu sejalan dengan paradigma komunikasi dan informasi yang mengalami perubahan sangat mendasar terutama pada konsep dan praktek komunikasi, maka saat ini proses komunikasi lebih cenderung bersifat sirkuler, tidak lagi linier dan dilaksanakan secara konvergen tidak parsial.
Perubahan paradigma tersebut sangat berpengaruh pada kegiatan di bidang diseminasi informasi, sehingga pelaksanaan diseminasi informasi harus dapat mengantisipasi perubahan paradigma tersebut. Dengan demikian, strategi komunikasi diseminasi informasi Penceghahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang dilakukan perlu menyesuaikan sejalan perubahan paradigma dimaksud, melalui pendekatan konvergensi media dengan memanfaatkan berbagai media baik melalui media elektronik, media cetak, media luar ruang, media tatap muka, media on-line, media tradisional serta media konvergensi yang secara praktek menggabungkan berbagai media tersebut  dalam satu kegiatan. Dalam perumusan yang lebih sederhana, konvergensi media adalah bergabungnya atau terkombinasinya berbagai jenis media, yang sebelumnya dianggap terpisah dan berbeda (misalnya, komputer, televisi, radio, dan surat kabar), ke dalam sebuah media tunggal.
Pokok bahasan dalam Proyek perubahan  ini adalah terkait konteks pelaksanaan diseminasi informasi melalui konvergensi media dalam rangka meningkatkan P4GN. Dengan sub bahasan meliputi media yang digunakan dan konten P4GN  yang disebarluaskan. Sedangkan analisis yang digunakan daiam studi ini adalah menggunakan metode laboratorium kepemimpinan, yaitu proses pembelajaran melalui pengalaman untuk menerapkan proyek perubahan  yang telah dirancang pada tahap taking ownership. Pada tahap ini merupakan tindak lanjut dari tahapan merancang proyek perubahan  yang telah dilaksanakan pada tahap selanjutnya (Buku Panduan Mentoring dan Coaching Kepemimpinan Tingkat II).
Oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan kegiatan  sebagai berikut, pembentukan tim, rapat koordinasi, perumusan tugas tim, penyusunan time schedule, penyusunan proposal dan sosialisasi program.

Peranan Media dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN)



Dewasa ini kita hidup dalam  sebuah masyarakat yang berada dalam kondisi darurat Narkoba, yang ditandai dengan semakin maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di tengah tengah masyarakat. Saat ini permasalahan narkoba di Indonesia sudah mencapai 4 juta orang, dengan latar belakang pendidikan, pekerjaan, usia yang sangat beragam bahkan modus operandi peredarannya semakin kompleks dan canggih serta terus berubah. Oleh karena itu, apabila kita tidak melakukan upaya pencegahan secara sinergis dan berkesinambungan, maka akan sulit mengendalikannya.
Media komunikasi memegang peranan yang penting dan strategis dalam menyampaikan bahaya penyalahgunaan narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda yang rentan terhadap penyalahgunaan narkoba. Dengan diperolehnya informasi tersebut masyarakat khususnya generasi muda diharapkan tidak lagi menjadi penyalahguna narkoba.
Secara esensial media komunikasi memiliki fungsi untuk menginformasikan  berbagai kepentingan antar manusia dalam berbagai lapangan kehidupan. Media komunikasi telah menjadi sarana bagi  seseorang untuk menyaksikan berbagai peristiwa dalam waktu yang cepat, bahkan secara real time  kita bisa mengetahui peristiwa yang terjadi  di tempat yang terpisah jauh di belahan dunia lain. Demikian juga informasi tentang narkoba dengan mudah bisa diakses melaui media, baik media konvensional seperti media massa maupun media baru yang berbasis teknologi infomasi dan komunikasi. Apa yang  diperoleh dari media merupakan wahana pemberalajaran yang potensial  dalam meningkatkan kapasitas pribadi dan masyarakat, sehingga media menjadi wahana edukasi publik yang efektif.  Melalui media bisa dikembangkan materi-materi yang mengandung pembelajaran individu dan sosial yang akan mencerdaskan masyarakat. Di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN), media komunikasi  juga digunakan sebagai wahanapenyebarluasan informasi. Dengan dukungan teknologi komunikasi dan informasi tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai wahana interaksi antar warga.
Secara keseluruhan media komunikasi berperan  memperluas kemampuan interaksi  diantara anggota masyarakat. Dengan demikian media komunikasi yang  berkualitas akan bisa berperan dalam memberikan informasi terkait bahaya penyalahgunaan narkoba yang pada gilirannya akan dapat berkontribusi pada memecahkan masalah darurat narkoba di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu melakukan langkah langkah dengan mendorong media dalam memproduksi informasi Narkoba, agar mempertimbangkan  dampak negatif yang ditimbulkannya.  Media diharapkan dapat mengembangkan materi informasi narkoba yang menonjolkan inisiasi masyarakat untuk melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba secara mandiri dan berkesinambungan. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana media mampu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan narkoba dan senantiasa melakukan kerjasama dengan seluruh elemen masyarakat, bangsa dan negara untuk bahu membahu menginisiasi pencegahan penyalahgunaan narkoba di lingkungannya masing masing. Dengan demikian diharapkan permasalahan narkoba di Indonesia yang sudah memasuki fase darurat dapat diatasi. Dengan demikian kita akan menghasilkan generasi muda yang sehat tanpa narkoba sebagai modal utama pembangunan bangsa yang mampu memenangkan persaingan di tingkat global. Semoga…..

MENGGILANYA TEMBAKAU SUPER CAP GORILLA



Akhir-akhir ini peredaran Tembakau Super Cap Gorilla sedang menggila di kalangan masyarakat indonesia, Tembakau Super Cap Gorilla ini dapat dibentuk seperti lintingan rokok biasa. Konon efek yang ditimbulkan setelah menghisap Tembakau Super Cap Gorilla beberapa kali akan memberikan efek halusinasi seperti ditindih oleh seekor Gorilla yang besar sehingga badan terasa berat dan tidak bisa bergerak. Semakin ramai media di indonesia memberitakan tembakau ini semakin masyarakat penasaran dan ingin mencoba-coba bagaimana efek dari barang tersebut.
 Padahal Tembakau Super Cap Gorilla ini termasuk dalam narkoba karena memiliki kandungan yang sangat berbahaya yaitu mengandung zat synthetic cannabinoids dan bahan kimia apesiminika berdasarkan hasil dari Laboratorium Badan Narkotika Nasional (BNN). Kedua zat tersebut biasanya di masukkan ke tembakau dengan cara di semprotkan. Synthetic cannabinoids atau biasa disebut ganja sintetis merupakan campuran jenis-jenis narkoba yang diimpor masuk ke Indonesia. Narkoba ini muncul sejak 2007 dan terkenal dengan nama ekstasi herbal ataupun pensil hiperasin.

Sebenarnya dalam dunia kedokteran cannabinoids diperlukan untuk terapi memperlambat proses neurodegenerasi pada penyakit alzheimer. Selain itu juga berguna untuk pengobatan stres karena senyawa cannabinoids bekerja cepat setelah menembus blood barrier yaitu filter darah yang masuk ke otak.
Disebut ganja sintetis karena zat ini mengandung tetrahydrocannabinol (THC) seperti tanaman ganja. Hanya saja sumbernya bukan dari ekstraksi ganja melainkan melaui proses kimia di laboratorium.
Efek orang yang mengghisap Tembakau Super Cap Gorilla memang seperti ditindih oleh Gorilla yang besar menurut pengakuan salah seorang penggunanya. Efeknya orang tersebut menjadi tidak bisa bergerak seperti zombie dan menimbulkan halusinasi. Orang yang baru coba-coba “ngegors” (istilah untuk mengisap tembakau gorila) biasanya akan panik karena tubuhnya jadi berat sedangkan pecandu yang sudah terbiasa akan muncul perasaan euforia berlebihan dan tertawa-tawa tanpa sebab.
Efek buruk yang dihasilkan ganja sintetik ini dapat mengancam nyawa manusia antara lain perasaan cemas yang sangat tinggi, detak jantung sangat cepat dan tekanan darah tinggi, mual dan muntah, kejang otot dan tremor, halusinasi intens dan gangguan psikotik, dan perasaan ingin bunuh diri dan atau melakukan tindakan yang berbahaya.
Salah satu sumber Warta Kota, D (25), mengatakan bahwa sudah ada tiga rekannya mengalami penyakit Tremor, ciri-cirinya tangan gemetar, berkeringat dan kesemutan setelah menghisap tembakau cap Gorila sejak satu bulan belakangan ini. Selain itu, dampak yang ditimbulkan adalah bercak hitam yang berada di tangan pemakai tembakau itu. "Seperti flak hitam di tangan. Tapi, ga gatel atau‎ kesakitan kalau digaruk," kata pria yang kuliah salah satu universitas di Jakarta Selatan itu, Selasa (26/5). (http://wartakota.tribunnews.com/2015/05/26/tembakau-cap-gorila-bisa-sebabkan-tremor).
Sayangnya, Tembakau Cap Gorilla ini belum memiliki payung hukum dari Kemenkes karena usulan zat narkotika baru yang diajukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) masih memerlukan proses yang cukup lama untuk dimasukkan ke UU Narkotika. Karena harus melalui uji dari para akademisi, uji laboraturium dan lain lain.
Namun, pihak kepolisian masih bisa menjerat pengedar tembakau super cap gorilla ini dengan Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009, tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan dengan tidak mencantumkan peringatan berbentuk gambar yaitu dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pengendalian tembakau lainnya jika merujuk pula pada ketentuan UU 36/2009, tidak melepaskan pula sanksi bagi para penikmatnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan amanat Pasal 199 ayat (2) UU 36/2009, tentang pelanggaran dengan sengaja kawasan yang dilarang untuk merokok dapat dikenakan pidana dengan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Walaupun belum diatur oleh undang-undang narkotika dan psikotropika, setidaknya UU diatas dapat digunakan untuk mempersempit peredaran dan penyalahgunaan tembakau cap gorila ini. Ada baiknya kita untuk menjauhi zat-zat berbahaya seperti ini. Karena, narkotika yang baru akan selalu muncul, tergantung dari diri kita untuk mengontrol mana yang baik  maupun yang tidak baik untuk diri kita.
Efek ketergantungan dari zat ganja sintetis ini, tidak sebanding dengan kenikmatan palsu yang ditawarkan, apalagi dibandingkan dengan cita-cita dan masa depan yang tentunya akan terhalangi apabila sudah adiksi. Jalan satu-satunya adalah di rehabilitasi dengan biaya yang sangat mahal untuk pemulihan. Belum lagi efek-efek buruk dari narkoba yang tidak bisa disembuhkan seperti kerusakan otak. Sangat tidak sebanding bukan?
Daripada ketiban Gorilla lebih baik Ketiban Rezeki. Jelas efeknya lebih bisa bikin melayang, bahagia, tertawa-tawa, sehat secara psikologis tanpa efek samping.

Rabu, 03 Februari 2016

Dampak Alkohol Bagi Kesehatan



Banyak orang yang sudah mulai mengenal dan paham jenis-jenis narkoba. Namun, masih sedikit dari mereka yang sadar bahwa sebenarnya alkohol adalah bagian dari narkoba. Alkohol termasuk dalam golongan zat adiktif, yaitu zat yang dapat menyebabkan ketergantungan. Alkohol bersifat depresan (memperlambat fungsi otak), sehingga jika dikonsumsi manusia akan membuat orang yang mengkonsumsi sulit berkomunikasi dengan baik, kehilangan keseimbangan tubuh, dan sebagainya.
Berikut 7 efek negatif mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan :

1. Gangguan Mental Organik (GMO)
Gangguan ini akan mengakibatkan perubahan perilaku, seperti bertindak kasar, gampang marah sehingga memiliki masalah dalam lingkungan sekitar. Perubahan fisiologi seperti mata juling, muka merah dan jalan sempoyongan. Perubahan psikologi seperti susah konsentrasi, sering ngelantur dan gampang tersinggung.

2. Merusak Daya Ingat
Kecanduan minuman keras dapat nghambat perkembangan memori dan sel-sel otak.

3. Oedema Otak
Pembengkakan dan terbendunganya darah di jaringan otak. Sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi dalam otak secara normal.

4. Sirosis Hati
Peradangan sel hati secara luas dan kematian sel dalam hati akibat terlalu banyak minum minuman keras.

5. Gangguan Jantung
Terlalu banyak minum minuman keras dapat membuat kerja jantung tidak berfungsi dengan baik.

6. Gastrinitis
Radang atau luka pada lambung. Ini biasanya diakibatkan gara2 muntah akibat mninuman keras, karena lambung harus memompa secara paksa keluar zat-zat adiktif yang beracun dalam tubuh.

7. Paranoid
Karena kecanduan, kadang2 peminum sering seperti merasa kepala dipukuli atau tidak tenang. Sehingga perilakunya menjadi lebih kasar terhadap orang di sekelilingnya.
Berikut ini adalah jenis-jenis minuman beralkohol serta kadar kandungan alkohol yang ada didalamnya:
1. Bir 3 - 5%
2. Wine 9 - 18%
3. Tequila 40%
4. Liquor 15 - 60%
5. Whiskey 40 - 50%
6. Vodka 40 - 50%
7. Brandy 40%
8. Rum 40%
9. Gin 40 - 50%
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Senin (12/5/2014), menyatakan, alkohol membunuh 3,3 juta orang di seluruh dunia setiap tahun (Kompas.com, 12 Mei 2014). Angka kematian akibat konsumsi alkohol ini jauh di atas gabungan korban AIDS, TBC, dan kekerasan. Kematian yang disebabkan alkohol termasuk kecelakaan lalu lintas akibat mabuk, kekerasan terkait alkohol, dan berbagai penyakit yang disebabkannya.
Selama ini pengawasan pemerintah terhadap minuman beralkohol sangat kurang sekali, namun saat ini sedang diusulkan Undang-undang yang mengatur tentang minuman beralkohol. Di dalam draft Undang-Undang Minuman Beralkohol, pada Bab VI mengatur ketentuan pidana. Pasal 17 mengatur ancaman pidana yang diusulkan bagi produsen dan distributor termasuk penjual, akan diancam minimal 2 tahun dan maksimal 10 tahun penjara. Denda yang diajukan adalah 200 juta sampai 1 miliar rupiah. Sementara Pasal 18 mengatur tentang ancaman pidana yang diusulkan bagi konsumen adalah 3 bulan penjara, maksimal 2 tahun penjara. Sedangkan dendannya 10 juta sampai 50 juta rupiah. Dalam Pasal 19 diatur mengenai peminum yang mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain, akan dipidana minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, serta denda antara 20 juta sampai 100 juta rupiah.
Kita semua berharap kedepan dengan hadirnya peraturan yang lebih tegas mengenai minuman beralkohol tersebut dapat mengurangi angka kriminalitas, kecelakaan dan segala masalah sosial lainnya tak terkecuali penyalahgunaan narkotika yang dipicu oleh konsumsi minuman beralkohol.

APPROACH IN THE TREATMENT OF DRUG AND SUBTANCE ABUSE



APPROACH IN THE TREATMENT

OF DRUG AND SUBTANCE ABUSE


Terdapat beberapa pendekatan di dalam sebuah Rehabilitasi untuk Drugs dependent,   hal ini dapat terlihat dari perbedaan dasar yang terdapat didalamnya.  Melihat beberapa pendekatan dibawah ini juga akan sangat membantu kita untuk lebih mengerti mengapa pendekatan Therapeutic Community , merupakan pendekatan yang paling efisien untuk sebuah Rehabilitasi Drugs dependent.

PENDEKATAN MEDIS DAN PSIKIATRI
·         Melihat drug dependent sebagai penyakit fisik / Psychiatric disorder, yang harus di terapi oleh seorang Psikiater di dalam sebuah Rumah sakit.
·         Terapi dengan menggunakan obat – obatan Psikotropika atau obat lainnya sebagai hal pendukung dari pemulihan.

PENDEKATAN TERAPI PERILAKU 
·         Melihat Drug dependent sebagai masalah psikologis / perilaku yang terganggu yang harus diberikan pembelajaran ulang.
·         Bertujuan tidak hanya untuk bersih dari obat - obatan, tetapi juga dapat mengontrol pemakaian dari subtance.

PENDEKATAN MULTI DISIPLIN
·         Bekerja berdasarkan pendekatan psikiatrik , dan juga berbasis pada residensial .
·         Di terapi oleh berbagai macam profesi yang bekerja sebagai satu team, seperti ; Guru, pekerja sosial, dan sebagainya.

PENDEKATAN 12 LANGKAH
·         Terfokus kepada Spiritual, Psikologika, dan pengalaman dari sesama pemakai.
·         Bekerja secara volenter dan self help group.

PENDEKATAN SPIRITUAL / RELIGI
  • Melihat kecanduan sebagai masalah spiritual dan dapat diselesaikan dengan menjalankan kegiatan – kegiatan agama.
  • Menerapkan kelas – kelas agama di dalam sebuah Rehabilitasi

LAINNYA

  • Akupuntur     : Melihat kecanduan sebagai masalah psikologis, terutama pada pecandu nikotin.
  • Yoga / Meditasi       : Melihat kecanduan sebagai masalah spiritual , dan menggunakan pendekatan spiritual.


PENDEKATAN THERAPEUTIC COMMUNITY ( TC )
  • Bekerja berdasarkan pendekatan 12 Langkah dan menerapkan terapi holistik didalam sebuah Rehabilitasi, dengan mementingkan masalah fisik, Psikologis, sosial, dan spiritual dari seorang pecandu.
  • Bekerja dengan menggabungkan terapi perilaku dan Mulitidisiplin


LATAR BELAKANG THERAPEUTIC COMMUNITY


          TC adalah salah satu pendekatan dari  “ Milieu ( Environment ) Therapy “ .  Pada abad ke 19 Milieu therapy pertama kali diterapkan kepada orang – orang yang mempunyai masalah kejiwaan. Tujuan dari milieu Therapy adalah untuk mendukung orang yang sakit agar dapat kembali ke dalam keluarga, sosial dan status sosial yang ada di dalam masyarakat.
          Hal ini akhirnya berkembang pada tahun 1960 pada saat Franco Basaglia mulai untuk menerapkan “ Open Psychiatric “ di Itali.  Sehingga beberapa orang yang telah mendalami ilmu psikologi turut bergabung didalam Therapi tersebut. Di antaranya adalah Watson , Skinner                 ( Behavior Therapy ), Freud ( Psychoanalysis ), yang akhirnya menghasilkan sebuah pendekatan yang bernama Psychotherapy. Psychotherapy mengimplementasikan pendekatan Self realization, the Human potential dan Global values. 


PRINSIP THERAPEUTIC COMMUNITY

BERDASARKAN MAXWEII JONES ( 1958 )

          Therapeutic Community adalah sebuah sistem terbuka  ( Open system ) yang didalamnya terdapat sebuah jadwal harian yang di hadiri oleh Resident dan staff yang saling mendukung untuk mengekspresikan pikiran , perasaan, dan pengalaman secara terbuka.  Ukuran dari sebuah Therapeutic community harus berkisar antara 15 sampai dengan 100 orang.
          Prinsip dasar dari sebuah TC program adalah tidak adanya kekerasan, demokrasi, dan konfrontasi secara real. Sedangkan dasar prosedur treatment dari sebuah TC program adalah untuk menganalisa dinamika dari sebuah kelompok, tingkah laku, dan proses komunikasi.  Self Esteem dan tanggung jawab seorang Residen akan dibangun secara bertahap.




PRINSIP THERAPEUTIC COMMUNITY
DIDALAM CLOSED SYSTEM ( SISTEM TERTUTUP )

          Sebuah TC program tidak dapat dijalankan dalam sebuah bangunan tertutup atau dengan sebuah bangunan yang berpagarkan tinggi.  Walaupun didalamnya tidak terjadi kekerasan. Karena hal tersebut akan membatasi kebebasan untuk memilih bagi seorang Resident, sebagai salah satu prinsip dari sebuah TC program.
          Didalam TC tidak ada simbol dari sebuah status.  Karena hal ini akan sangat mengganggu jalannya program.  Status / symbol yang dipakai hanya berdasarkan tanggung jawab / tugas yang ada saja.


SEJARAH THERAPEUTIC COMMUNITY PROGRAM

          DIDALAM REHABILITASI


          Untuk pertama kalinya TC program di Implementasikan oleh James Moreno ( 1934 ), yang juga disebut sebagai bapak dari Psychodrama.  Dan juga TC di implementasikan oleh Maxwell Jones ( 1952 ) untuk    orang – orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
          Program TC pertama yang dijalankan untuk sebuah Rehabilitasi ketergantungan obat  di implementasikan pertama kali di Amerika bagi para pecandu pengguna jarum suntik, sebagai akibat gagalnya terapi yang selama ini telah diberikan oleh sebuah Rumah sakit.
          Pada tahun 1958 Chuck Dederich seorang pecandu alkohol yang telah menjalani pemulihan dengan mengikuti Alcoholic Anonymous Meeting, membuka Synanon sebagai sebuah komunitas bagi para pecandu tanpa menggunakan seorang profesional.
          Pada tahun 1963 David Deitch salah satu anggota utama dari Synanon, bersama dengan Monsignor O’ Brien dan Dr Casriel membuka DAYTOP. Berbeda dengan Synanon, karena DAYTOP sudah mulai mengintegrasikan kembali komunitasnya ke dalam masyarakat. 
          Pada tahun 1967 beberapa orang yang telah menyelesaikan program Dari DAYTOP, membuka Phoenix House yang dibantu oleh beberapa professional didalamnya.  Tetapi pimpinan dari Phoenix House tetap seorang Recovering addict, dan yang menjalankan seluruh system dari Therapeutic Community tetap seorang Recovering addict. 
          Juga pada tahun 1967 seorang Recovering addict dan seorang professional telah membuka Odyssey House.  Yang didalamnya terdapat perpaduan antara pendekatan Psikiater dan Therapeutic Community.
          Pada akhir tahun 60 – an TC program telah menyebar sampai ke Eropa, yang pada saat itu telah sampai ke London dan Paris. Dan setelah ini TC model telah menyebar keseluruh penjuru dunia.



PRINSIP THERAPEUTIC COMMUNITY

DIDALAM DRUG REHABILITATION

Alternatif dari prinsip – prinsip yang ada didalam TC, berdasarkan pada perbedaan tujuan dan kondisi.

          Perbedaan struktur budaya, sosial, dan sebagainya yang terdapat di bergabagai macam negara,  membuat terjadinya beberapa perbedaan implementasi program yang ada didalam Therapeutic Community.  Disebabkan karena hal tersebut, TC program dapat diterapkan dengan berbagai tingkat kebutuhan daro sebuah budaya, tanpa menghilangkan prinsip TC yang ada didalamnya.

Sistem Hirarki


          Melalui system hirarki yang ada didalam TC, seorang individu dapat belajar untuk mendapatkan sebuah status atau posisi berdasarkan evaluasi dari tingkah laku, kepribadian dan pola pikir. Lebih dari itu sistem hirarki juga mengkontribusikan bagi seorang individu untuk lebih belajar, terhadap konfrontasi yang ada didalam realita hidup. 
          Dalam hal ini sebuah sistem hirarki yang ada didalam TC dapat menghasilkan sebuah struktur kerja, orientasi dan batasan.  Seperti yang kita ketahui bersama bahwasanya seorang pecandu sangat tidak terstruktur didalam hidup.

Meeting / Pertemuan kelompok

          Meeting didalam TC program harus dilakukan setiap hari.  Didalam meeting tersebutlah kita dapat membahas dan memutuskan secara demokrasi setiap issue yang ada didalam sebuah TC.

Motivasi


          Motivasi merupakan hal yang paling penting bagi seorang individu yang baru masuk kedalam sebuah TC program.  Karena hal inilah yang akan mendasari perubahan perilaku bagi seorang pecandu.  Merupakan tugas bagi seorang counselor untuk membangun motivasi dan insight seorang individu yang baru bergabung kedalam sebuah TC program.   Biasanya hal ini dapat terlihat pada saat seorang counsellor melakukan “ Emotional Interview “.

Prinsip of Learning / Prinsip Pembelajaran 


          Terdapat empat ( 4 ) prinsip pembelajaran yang terdapat didalam sebuah TC program   :
§  Gestalt Psychology : Belajar membangun insight melalui koneksi – koneksi yang ada.
§  Gestalt Therapy      : Belajar melalui pengalaman.
§  Behaviorism           : Belajar melalui penghargaan dan kompensasi.
§  Learning by imitation       : Belajar melalui seorang atau sebuah model merupakan hal pertama yang harus dilakukan dalam perubahan perilaku.



Gigih Eka Setiagung, ICAC I, RC